Monday, February 15, 2010

Yesus dan Domba Hitam

Orang Kristen memandang Yesus sebagai sang gembala yang baik, yang telah menyerahkan dirinya bagi keselamatan domba-dombanya. Dalam Yohanes 10:11, Yesus berkata, “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (bdk ayat 15). Anggapan bahwa Yesus adalah sang gembala yang baik sering membuat orang dengan keliru memandang sang gembala dalam perumpamaan Yesus tentang domba yang hilang (Lukas 15:1-7) adalah diri Yesus sendiri. Padahal dalam pandangan Yesus sendiri, sang gembala yang mencari seekor dombanya yang telah hilang ini adalah Allah, bukan dirinya. Dirinya hanyalah seorang pencerita tentang Allah yang sedang memerintah Israel sekarang.

Kebanyakan orang Kristen berpandangan bahwa Yesus betul-betul seorang gembala yang baik pada masa kehidupannya dulu, yang memiliki banyak domba. Padahal pekerjaan Yesus yang sebenarnya adalah tukang kayu (Yunani: tektōn), seperti dicatat dalam Markus 6:3 dan Matius 13:55. Jadi, sebetulnya gambaran tentang Yesus sebagai sang gembala yang baik adalah sebuah metafora, sebuah perumpamaan, sebuah ibarat. Bahkan Yesus sendiri memakai sebuah metafora ketika dia berkata, “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Matius 15:24): domba-domba di sini bukanlah hewan domba betulan, melainkan bagian dari umat Israel yang tersingkir ke pinggiran masyarakat karena sistem klasifikasi masyarakat yang diterapkan para penguasa Yahudi zamannya.

Karena sifat metaforisnya, penulis Injil Yohanes bahkan dapat mengubah Yesus dari sebagai “sang gembala yang baik” (Yohanes 10:11) menjadi “sang anak domba Allah” yang dikorbankan untuk menghapus dosa dunia (Yohanes 1:29). Ini adalah suatu pergeseran besar dalam metafora yang digunakannya. Dalam realita, memang itulah yang terjadi: semula Yesus adalah sang pemimpin (=sang gembala) tidak resmi masyarakat Yahudi di Galilea; tetapi kemudian dia menjadi korban (=domba yang disembelih) sistem perpolitikan yang dijalankan para penguasa Roma dan penguasa Yahudi zamannya.

Karena dipersepsi sebagai sang gembala yang baik, gambar Yesus memeluk seekor anak domba berbulu putih lazim ditemukan di mana-mana. Di sekolah. Di ruang belajar Anda. Di ruang tamu rumah Anda. Tetapi bagaimana dengan gambar di bawah ini, gambar Yesus sedang memeluk seekor domba hitam?

Gambar Yesus merangkul seekor domba hitam sangat tidak biasa, bahkan Anda mungkin baru melihatnya sekarang. Tidak ada satu catatan pun dalam Perjanjian Baru yang menggambarkan Yesus menyelamatkan seekor domba hitam. Ada satu catatan dalam Injil Yohanes yang memuat ucapan Yesus tentang “domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini” (Yohanes 10:16). Tetapi yang dimaksudkannya di sini bukanlah domba-domba hitam, melainkan domba-domba “dari kandang yang lain.”

Domba hitam (black sheep) tentu adalah seekor domba yang berbulu hitam, seperti tampak pada gambar di atas. Tetapi “black sheep” juga dipahami sebagai sebuah metafora atau sebuah ibarat untuk seseorang yang oleh kelompoknya dipandang negatif sebagai orang yang telah gagal memenuhi harapan kelompok, atau sebagai seseorang yang dipandang telah mempermalukan kelompoknya sehingga telah kehilangan harganya di mata kelompok. Ini bisa terjadi misalnya karena orang ini telah pindah agama sehingga oleh kelompoknya semula dianggap sebagai orang yang telah gagal dan telah mempermalukan kelompoknya. Atau karena orang ini kawin dengan orang yang tidak seagama sehingga tidak mendapatkan restu dari kelompoknya semula dan dianggap sebagai orang yang terhilang. Atau karena orang ini telah membelot, masuk ke negeri musuh dan berperang untuk kepentingan musuh.

Si pelukis gambar hendak menyampaikan pesannya, bahwa Yesus Kristus tetap mengasihi, menjaga, memelihara dan mencari orang-orang semacam itu. Hal ini bertolakbelakang dengan apa yang umumnya dipraktikkan gereja, yakni ingin mengeluarkan anggota-anggotanya yang dipandang telah mempermalukan komunitasnya.

Friday, February 5, 2010

Yesus Kristus sebagai Sampeyan Dalem Maha Prabhu Pangeraning Para Bangsa

Di atas adalah sebuah foto arca Yesus Kristus dalam busana raja Jawa yang dapat Anda jumpai kalau Anda berkunjung ke sebuah candi yang berada di dalam kompleks Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (HKTY) yang terletak di Dusun Kaligondang, Desa Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Setempat, gereja ini dikenal sebagai Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, berlokasi kurang lebih 17 kilometer dari pusat kota Yogyakarta ke arah selatan. Lokasi ini bisa dicapai lewat jalan darat Yogyakarta-Bantul, atau lewat Yogyakarta-Parangtritis. 

Nama Ganjuran diambil dari sebuah tembang yang berjudul Kala Ganjur yang liriknya mengisahkan kehidupan bersama yang didasarkan ikatan cinta antara Ki Ageng Mangir dan Rara Pembayan kala keduanya telah diasingkan dari Mataram. Jadi, diharapkan, dari gereja dan candi ini akan terpancar cinta kasih yang besar yang mengikat semua anak manusia. Sekarang, gereja dan candi ini diurus oleh Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang.

Gereja HKTY Ganjuran didirikan 16 April 1924 atas prakarsa Joseph Schmutzer dan Julius Schmutzer, dua orang Belanda bersaudara pemilik pabrik gula Gondang Lipuro. Candinya sendiri didirikan di sebelah timur gereja ini pada 1927, dengan mengikuti arsitektur Hindu-Jawa (Mataram dan Majapahit). Candi ini tingginya 9 meter, dan memiliki 9 anak tangga yang membawa orang ke relung teratas candi ini yang di dalamnya dipasang arca Yesus Kristus. Sembilan anak tangga melambangkan sembilan tahapan yang harus ditempuh untuk orang dapat masuk ke Surgaloka. Dengan demikian, arca Yesus Kristus ini dibayangkan terletak di Surgaloka. 


Pada tahun 1998 di dasar candi ini ditemukan sebuah mata air yang mengandung mineral dalam konsentrasi tinggi sehingga konon berkhasiat menyembuhkan penyakit. Mata air ini disalurkan ke atas lewat 9 titik kran untuk dapat digunakan bagi berbagai keperluan. Air ini diberi nama Tirta Perwitasari. Dalam kisah pewayangan Jawa ada rujukan kepada air suci Perwitasari yang diyakini sebagai air kehidupan yang dicari oleh Wijasena. 

Mari kita perhatikan arca Yesus Kristus ini dengan lebih teliti. Arca ini mengenakan sebuah mahkota raja dan memakai busana kebesaran raja-raja Jawa lengkap dengan segala pernak-pernik perhiasannya. Sementara duduk di singasana kebesarannya, tangan kanannya menunjuk pada hati kudusnya dan tangan kirinya sedikit menyibak jubah kebesaran rajaninya. Rambut panjang di kepalanya ditata rapi serupa dengan model rambut Siddharta Gautama atau model rambut para pendeta Hindu kuno. Di atas arca ini (tidak tampak sepenuhnya dalam gambar) tertera aksara jawa yang bunyinya demikian: Sampeyan Dalem Sang Maha Prabhu Yesus Kristus Pangeraning Para Bangsa.  

Gelar Sampeyan Dalem adalah gelar khas untuk raja-raja Jawa Mataram. Arca ini bukan sekadar arca Yesus Kristus sebagai seorang raja Jawa, tetapi arca seorang Maha Prabhu, seorang Maha Raja. Maha Prabhu ini adalah Pangeran segala bangsa. Pangeran dalam sebutan orang Jawa DIY sinonim dengan Tuhan. Kedua telapak kaki sang Maha Raja dan Tuhan segala bangsa ini menginjak sekuntum bunga padma/teratai besar yang sedang mekar penuh (tidak tampak dalam gambar), lambang kemurnian, kesucian, kebijaksanaan, cinta dan keilahian Sang Maha Prabhu Yesus Kristus ini.

Candi Ganjuran dengan arca Yesus Kristus Sang Maha Prabhu di dalam relungnya

Arca Bunda Maria Ganjuran sedang memangku kanak-kanak Yesus.
Keduanya berpakaian kebesaran kerajaan Jawa. Di bawah arca ini ada tulisan 

Dyah Maria Ganjuran Nyuwun Pangestu Dalem 
(Bunda Maria Ibu Ganjuran, Minta Restumu)

Orang Jawa di kawasan DIY gentar terhadap Nyai Loro Kidul, yang dipandang dan dihormati sebagai Ratu Penguasa Laut Selatan. Nah, candi Ganjuran ini dan arca Yesus Kristus yang ada di relung candi ini keduanya dibangun dengan menghadap ke Laut Selatan, sebagai tanda penghormatan kepada Sang Ratu Penguasa Laut Selatan ini. Meskipun Yesus Kristus yang digambarkan arca ini adalah Maha Prabhu dan Pangeran segala bangsa, dia juga menghormati Nyai Loro Kidul, mungkin juga dibayangkan bersahabat dengan Sang Nyai. Harus ada harmoni di antara keduanya, bukan konflik. Tetapi dalam kepercayaan kuno orang Jawa, Laut Selatan bukan hanya dihuni oleh Nyai Loro Kidul, tetapi juga oleh Dewata Cengkar yang jahat yang telah menjadi seekor bajul (buaya) putih. Jadi, Sang Maha Prabhu Yesus Kristus ini juga siap berhadapan dengan kuasa-kuasa jahat bajul putih ini demi melindungi masyarakat Jawa Tengah.

Ketika gempa bumi melanda Yogyakarta pada 27 Mei 2006, bangunan gereja Ganjuran dan kompleks di sekitarnya hancur, tetapi candi dan arca Maha Prabhu Yesus Kristus di dalamnya bertahan utuh. Kenyataan ini membuat orang-orang Jawa di sana yang masih berpikiran magis, termasuk tentu warga gereja yang sering berkunjung ke sana (tidak hanya orang Katolik) untuk mencari mukjizat kesembuhan dan berdoa khusuk, menganggap arca Yesus Kristus sang Maha Prabhu ini sakti. Inkulturasi injil dalam kebudayaan Jawa kuno dan alam pemikiran magis menyatu dalam arca Yesus Kristus di candi Ganjuran ini. Saya bertanya-tanya dalam hati, mengapa kalau arca Yesus Kristus sang Maha Prabhu ini sakti, kota Yogyakarta dan manusia penduduknya tidak dilindunginya dari bencana gempa bumi itu.

Bagaimanapun juga, apakah Anda mau mencoba khasiat dan tuah arca ini dan Tirta Perwitasarinya? Jika ya, datang saja
berbondong-bondong ke Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Jangan lupa, kalau Anda menyimpan banyak permintaan di hati, di sana Anda musti sungkem dan berdoa komat-kamit di kaki arca Sang Maha Prabhu Yesus Kristus, tentu jika Anda tidak memiliki keberatan nurani apa pun untuk sujud di kaki sebuah patung seperti taatnya warga gereja Katolik untuk sujud di bawah kaki patung Bunda Maria. Dan, ingat, jangan minum Tirta Perwitasari di sana banyak-banyak, sebab, kata dokter, air yang mengandung mineral dalam kadar tinggi bisa membuat orang terkena batu ginjal.